1.4.a.8.
Koneksi Antar Materi - Modul 1.4
Oleh:
Muhammad Fajri
CGP Angkatan 7
Kabupaten Aceh Besar
“…kita ambil
contoh perbandingannya dengan hidup tumbuh-tumbuhan seorang petani (dalam
hakikatnya sama kewajibannya dengan seorang pendidik) yang menanam padi
misalnya, hanya dapat menuntun tumbuhnya padi, ia dapat memperbaiki kondisi
tanah, memelihara tanaman padi, memberi pupuk dan air, membasmi ulat-ulat atau
jamur-jamur yang mengganggu hidup tanaman padi dan lain sebagainya.”
(Ki Hajar
Dewantara: Lampiran 1. Dasar-Dasar Pendidikan. Keluarga, Th. I No.1,2,3,4.,
Nov, Des 1936., Jan, Febr. 1937).
Dari kutipan
pemikiran Ki Hajar Dewantara di atas, kita dapat menyimpulkan bahwa sekolah
diibaratkan sebagai tanah tempat bercocok tanam sehingga seorang guru perlu
mengusahakan agar sekolah menjadi sebuah lingkungan yang menyenangkan, aman,
nyaman untuk bertumbuh, serta dapat menjaga dan melindungi setiap murid dari
hal-hal yang kurang bermanfaat, atau bahkan mengganggu perkembangan potensi
murid.
Setelah
bertahun-tahun mengajar, mendampingi murid-murid tumbuh dan berkembang, saya (Calon
Guru Penggerak) menyadari bahwa budaya positif di sekolah sangatlah penting
untuk mengembangkan anak-anak yang memiliki karakter yang kuat, sesuai profil
pelajar Pancasila.
Setelah
mempelajari paket modul 1 ini yang terdiri dari modul 1.1. tentang Refleksi
Filosofis Pendidikan Nasional - Ki Hadjar Dewantara, modul 1.2 tentang
Nilai-Nilai dan Peran Guru Penggerak, modul 1.3. Visi Guru Penggerak dan
terakhir modul 1.4. tentang Budaya Positif. Di modul terakhir dari sajian modul
1 ini Calon Guru Penggerak (CGP) dituntut untuk benar-benar memahami pentingnya
membangun budaya positif di sekolah sesuai dengan filosofi pendidikan Ki Hadjar
Dewantara yaitu pendidikan yang berpihak pada murid untuk membantu para CGP
dalam mencapai visi guru penggerak. Di modul
ini pula CGP diajak untuk mempelajari bagaimana peran seorang pemimpin pada
sebuah institusi dalam menggerakkan dan memotivasi warga sekolah agar memiliki,
meyakini, dan menerapkan visi atau nilai-nilai kebajikan yang disepakati,
sehingga tercipta budaya positif yang berpihak pada murid.
Dalam upaya
membangun budaya positif tersebut, kita tentu perlu meninjau lebih dalam
tentang strategi menumbuhkan lingkungan yang positif. Maka sebelum tentunya
dituntut untuk menerapkan budaya posditif di lingkungan sekolah, para CGP diajak
untuk melakukan refleksi atas penerapan disiplin yang dilakukan selama ini di
lingkungan masing-masing. Apakah penerapan disiplin di sekolah sudah
benar-benar dalam kerangka penumbuhan budaya positif? Mengekang? Menghukum atau
seperti apa? Lantas, bagaimana strategi para CGP dalam menerapkan praktik
disiplin tersebut? Apakah selama ini para CGP sudah sungguh-sungguh menjalankan
disiplin, atau malah sedang melakukan sebuah hukuman? Di mana kita menarik
garis pembatas?
Di Modul 1.4.
tentang budaya positif ini saya diajak untuk menelaah kembali tentang disiplin
positif, teori kontrol, teori motivasi,
hukuman dan penghargaan, posisi kontrol guru, kebutuhan dasar manusia,
keyakinan kelas, dan segitiga restitusi. Teori-teori ini merupakan sebuah ajuan
paradigma berpikir dalam mengajukan kerangka budaya positif di sekolah, lembaga
pendidikan dan juga lingkungan bermasyarakat. Maka mengapa teori-teori ini
perlu kami koneksikan dan hubungkan kembali dengan modul-modul terdahulu
sebagaimana uraian berikut:
v Disiplin
positif
Kembali mengutip pernyataan KHD di
atas:
“…kita ambil contoh perbandingannya dengan hidup tumbuh-tumbuhan seorang petani (dalam hakikatnya sama kewajibannya dengan seorang pendidik) yang menanam padi misalnya, hanya dapat menuntun tumbuhnya padi, ia dapat memperbaiki kondisi tanah, memelihara tanaman padi, memberi pupuk dan air, membasmi ulat-ulat atau jamur-jamur yang mengganggu hidup tanaman padi dan lain sebagainya.”
Tujuan dari disiplin positif adalah menanamkan motivasi yang ketiga pada murid-murid kita yaitu untuk menjadi orang yang mereka inginkan dan menghargai diri sendiri dengan nilai-nilai yang mereka percaya. Ketika murid-murid kita memiliki motivasi tersebut, mereka telah memiliki motivasi intrinsik yang berdampak jangka panjang, motivasi yang tidak akan terpengaruh pada adanya hukuman atau hadiah. Mereka akan tetap berperilaku baik dan berlandaskan nilai-nilai kebajikan karena mereka ingin menjadi orang yang menjunjung tinggi nilai-nilai yang mereka hargai, atau mencapai suatu tujuan mulia.
Selaras dengan pemikiran KHD dan ajuan kerangka disiplin positif di atas menunjukkan bahwa sejatinya disiplin itu bertumbuh dari proses internal si peserta didik, tidak oleh pihak eksternal. Dalam penumbuhan tersebut, pihak eksternal hanya bertindak selaku pemantik stimulus sebagaimana pada penggambaran KHD tentang petani dengan pemeliharaan, pemupukan, penyiraman akan tanaman, maka bagi pendidik, orangtua, dan orang dewasa akan disiplin pada peserta didik dan anak-anak adalah sama, bahwa kita sejatinya hanya bisa memupuk, menyiram dan memelihara hal-hal baik dalam kerangka bertumbuhnya disiplin positif pada peserta didik/anak-anak. Dan dari perspektif ini kita juga harus menyakini bahwa disiplin positif pasti akan terbentuk berkat modal nilai-nilai kebajikan yang ada pada manusia yang berupa sifat-sifat positif manusia yang merupakan tujuan mulia yang ingin dicapai setiap individu.
v Teori Kontrol
Untuk
membangun budaya positif, sekolah perlu menyediakan lingkungan yang positif,
aman, dan nyaman, agar murid mampu berpikir, bertindak, dan mencipta dengan
merdeka, mandiri dan bertanggung jawab. Dalam mendisiplinkan anak maka erat
kaitannya dengan melakukan kontrol. Menurut Dr William Glasser dalam Control
Theory bahwa upaya kontrol yang dilakukan berikut ini adalah sebuah ilusi; guru
mengontrol murid, semua penguatan positif efektif dan bermanfaat, kritik dan
membuat orang merasa bersalah dapat menguatkan karakter, dan orang dewasa
memiliki hak untuk memaksa. Maka untuk itu perlu dilakukan perubahan paradigma
stimulus-Respon kepada pendekatan teori kontrol. Menurut pendekatan teori
kontrol antara lain mengatakan bahwa semua perilaku memiliki tujuan, hanya anda
yang bisa mengontrol diri anda, anda tidak bisa mengontrol orang lain.
Dalam
melakukan kontrol terhadap murid, ada 5 (lima) posisi kontrol yang dilakukan
guru terhadap murid yaitu; sebagai penghukum, pembuat orang merasa bersalah,
sebagai teman, monitor atau pemantau, dan seorang manajer. Sangat diharapkan
bahwa posisi guru dalam mengontrol murid adalah sebagai manajer karena seorang
manajer mampu memposisikan diri sebagai mentor berbuat sesuatu bersama murid,
mempersilakan murid bertanggung jawab atas tindakannnya, mendukung dan bersama
murid menemukan solusi atas permasalahannya.
v Teori motivasi
Diane Gossen
dalam bukunya Restructuring School Discipline, menyatakan ada 3 motivasi perilaku
manusia:
1. Untuk menghindari ketidaknyamanan atau hukuman
Ini adalah
tingkat terendah dari motivasi perilaku manusia. Biasanya orang yang motivasi
perilakunya untuk menghindari hukuman atau ketidaknyamanan, akan bertanya, apa
yang akan terjadi apabila saya tidak melakukannya? Sebenarnya mereka sedang
menghindari permasalahan yang mungkin muncul dan berpengaruh pada mereka secara
fisik, psikologis, maupun tidak terpenuhinya kebutuhan mereka, bila mereka
tidak melakukan tindakan tersebut. Motivasi ini bersifat eksternal.
2. Untuk mendapatkan imbalan atau penghargaan dari orang lain.
Satu tingkat
di atas motivasi yang pertama, disini orang berperilaku untuk mendapatkan
imbalan atau penghargaan dari orang lain. Orang dengan motivasi ini akan
bertanya, apa yang akan saya dapatkan apabila saya melakukannya? Mereka
melakukan sebuah tindakan untuk mendapatkan pujian dari orang lain yang menurut
mereka penting dan mereka letakkan dalam dunia berkualitas mereka. Mereka juga
melakukan sesuatu untuk mendapatkan hadiah, pengakuan, atau imbalan. Motivasi
ini juga bersifat eksternal.
3. Untuk menjadi orang yang mereka inginkan dan menghargai diri sendiri dengan nilai-nilai yang mereka percaya.
Orang dengan
motivasi ini akan bertanya, akan menjadi orang yang seperti apabila saya
melakukannya? Mereka melakukan sesuatu karena nilai-nilai yang mereka yakini
dan hargai, dan mereka melakukannya karena mereka ingin menjadi orang yang
melakukan nilai-nilai yang mereka yakini tersebut. Ini adalah motivasi yang
akan membuat seseorang memiliki disiplin positif karena motivasi berperilakunya
bersifat internal, bukan eksternal.
Pernahkan kita
berada dalam sebuah situasi dimana kita sengaja melakukan sesuatu yang
menyakitkan bagi diri kita sendiri, bahkan bertabrakan dengan penghargaan dari
orang lain? Mengapa kita tetap memilih melakukannya padahal kita tahu akibatnya
akan menyakitkan, kita mungkin akan dikecam secara sosial, bahkan ada kerugian
secara finansial? Apa prinsip-prinsip yang kita perjuangkan dan kita lindungi?
Saat itu, kita sedang menjadi orang yang seperti apa?
Tujuan dari
disiplin positif adalah menanamkan motivasi yang ketiga pada murid-murid kita
yaitu untuk menjadi orang yang mereka inginkan dan menghargai diri sendiri
dengan nilai-nilai yang mereka percaya. Ketika murid-murid kita memiliki
motivasi tersebut, mereka telah memiliki motivasi intrinsik yang berdampak
jangka panjang, motivasi yang tidak akan terpengaruh pada adanya hukuman atau
hadiah. Mereka akan tetap berperilaku baik dan berlandaskan nilai-nilai
kebajikan karena mereka ingin menjadi orang yang menjunjung tinggi nilai-nilai
yang mereka hargai. Pertanyaannya sekarang adalah bagaimana cara kita sebagai
guru untuk untuk menanamkan disiplin positif yang positif ini kepada
murid-murid kita?
v Hukuman dan Penghargaan
Ada tiga cara
untuk mendisiplinkan anak yaitu melalui hukuman, konsekuensi dan restitusi.
Hukuman bersifat tiba-tiba, satu arah, dan anak tidak mengetahui sebelum atau
sesudahnya. Hukuman bersifat menyakiti anak baik secara fisik maupun psikis.
Konsekuensi biasanya sudah disepakati dan disetujui oleh murid. Murid yang
melanggar peraturan sudah tahu konsekuensi yang akan diterimanya. Menurut Gossen
(2004), restitusi adalah proses menciptakan kondisi bagi anak untuk memperbaiki
kesalahan mereka, sehingga mereka bisa kembali pada kelompok mereka, dengan
karakter yang lebih kuat.
v Posisi Kontrol Guru
Posisi kontrol
ideal seorang guru yang ditawarkan oleh modul 1.4. ini dan diharapkan dapat
dipraktikkan oleh guru masa depan Indonesia adalah posisi manajer.
Sebagai manajer, guru dipandang mampu memposisikan diri sebagai mentor berbuat
sesuatu bersama murid, mempersilakan murid bertanggungjawab atas tindakannnya,
mendukung dan bersama murid menemukan solusi atas permasalahannya.
Dengan peranan
kontrol guru sebagai manajer diharapkan akan mampu mendorong kemampuan
intrinsic peserta didik dalam rangka penerapan didiplin yang lebih positif. Di
samping itu pula, sifat manajer juga dipandang sebagai bentuk penerapan
pendekatan disiplin yang lebih transformis yang dikenal sebagai pendekatan
restitusi yang dikembangkan oleh Diane Gossen. Pendekatan Restitusi berfokus pada
pengembangan motivasi intrinsik pada murid yang selanjutnya dapat menumbuhkan
murid-murid yang bertanggung jawab, mandiri, dan merdeka.
v Kebutuhan Dasar Manusia
Abraham Maslow
membagi kebutuhan dasar manusia menjadi lima macam, yaitu: kebutuhan untuk
bertahan hidup (survival), kasih sayang dan rasa diterima (love and belonging),
kebebasan (freedom), kesenangan (fun), dan penguasaan (power). Sejatinya,
setiap insan yang merdeka sebagaimana juga para murid di sekolah memiliki dan
dengan merdeka pula harus terpenuhi hak dasar yang lima ini tanpa terkecuali.
Bilamana kebutuhan dasar ini tidak terpenuhi, kurang, timpang da nada
rongrongan, secara psikologi manusia akan melakukan proses penolakan bahkan
hingga perlawanan. Ke konteks sekolah, bilamana ada di antara peserta didik
yang tidak terpenuhi kebutuhan dasarnya dengan baik, biasanya cenderung
melakukan pelanggaran-pelanggaran tertentu yang mengakibatkan diberikannya
konsekuensi pelanggaran berupa hukuman pada praktik di masa lalu. Lain halnya
di masa kini, di mana transformasi pendidikan dan teori-teori pemajuan
pendidikan yang makin massif, pola pemberian hukuman di ranah pendidikan sudah
berkurang dengan signifikan berganti dengan pola-pola pemberian konsekuensi
yang lebih logis dan positif.
v Keyakinan Kelas
Nilai-nilai
keselamatan atau kesehatan inilah yang kita sebut sebagai suatu ‘keyakinan’, yaitu
nilai-nilai kebajikan universal yang disepakati secara tersirat dan tersurat,
lepas dari latar belakang suku, negara, bahasa maupun agama. Seperti yang sudah
disampaikan sebelumnya pada pembelajaran tentang Nilai-nilai Kebajikan bahwa
menekankan pada keyakinan seseorang akan lebih memotivasi seseorang dari dalam.
Seseorang akan lebih tergerak dan bersemangat untuk menjalankan keyakinannya,
daripada hanya sekedar mengikuti serangkaian peraturan tertulis tanpa makna.
Murid-murid pun demikian, mereka perlu mendengarkan dan memahami arti
sesungguhnya tentang peraturan-peraturan yang diberikan, apa nilai-nilai
kebajikan dibalik peraturan tersebut, apa tujuan utamanya, dan menjadi tidak
tertarik, atau takut sehingga hanya sekedar mengikuti serangkaian
peraturan-peraturan yang mengatur mereka tanpa memahami tujuan mulianya.
Pada
pembelajaran Disiplin dan Nilai-nilai Kebajikan Universal, kita telah
mempelajari tentang nilai-nilai kebajikan yang dapat menjadi landasan kita
dalam membuat suatu keyakinan sekolah atau menentukan visi dan misi atau tujuan
dari sebuah institusi/sekolah. Seperti telah dikemukakan di modul 1.2, dalam
penentuan visi sebuah institusi/sekolah kita terlebih dahulu perlu menentukan
nilai-nilai kebajikan apa yang terpenting bagi institusi tersebut agar dapat
mencapai tujuan mulia yang dicita-citakan.
v Segitiga Restitusi
Restitusi
adalah proses menciptakan kondisi bagi murid untuk memperbaiki kesalahan mereka
sehingga mereka bisa kembali pada kelompok mereka dengan karakter yang lebih
kuat. Restitusi merupakan proses kolaboratif yang mengajarkan murid untuk
mencari solusi untuk masalah mereka, konsekuensi biasanya diberikan berdasarkan
suatu data yang umumnya dapat diukur.
Segitiga restitusi
merupakan tiga langkah yang digunakan untuk melakukan restitusi. Proses tiga
tahapan tersebut didasarkan pada prinsip-prinsip utama dari teori kontrol
yaitu: 1) Menstabilkan identitas (stabilize the identity), teori kontrolnya:
kita semua akan melakukan hal terbaik yang bisa kita lakukan. 2) Validasi
tindakan yang salah (validate the misbehaviour), teori kontrolnya semua
perilaku memiliki alasan. 3) Menanyakan keyakinan (Seek the belief), teori
kontrolnya: kita semua memiliki motivasi internal.
Modul 1.4 ini
pun selaras serta memiliki keterkaitan dengan Standar Nasional Pendidikan
khususnya di Standar Kompetensi Kelulusan, Standar Pengelolaan Pendidikan,
Standar Pendidik dan Tenaga Kependidikan, dan Standar Proses. Dalam rangka
menciptakan budaya positif, penerapan disiplin positif dipraktikkan untuk
menghasilkan murid-murid yang berkarakter, disiplin, santun, jujur, peduli, dan
bertanggung jawab. Dalam menjalankan tugasnya, seorang pemimpin sekolah
hendaknya berjiwa kepemimpinan serta dapat mengembangkan sekolah dengan baik
yaitu dengan menciptakan lingkungan yang positif sehingga terwujud suatu budaya
positif. Demikian juga dengan warga sekolahnya; setiap guru dan tenaga
kependidikan memiliki kompetensi standar minimal di mana mereka memiliki kesamaan
visi serta nilai-nilai kebajikan yang dituju, serta berupaya mewujudkannya
dalam pembelajaran yang aplikatif yang mengupayakan pemberdayaan murid agar
dapat menjadi pemelajar sepanjang hayat.
Pada akhirnya dengan
mempelajari modul ini diharapkan dapat menjadi suatu pembelajaran, tempat
berproses, wadah untuk berdiskusi, dan menumbuhkan semangat untuk menggali dan
mengembangkan potensi anak-anak Indonesia yang berkarakter kuat, mandiri, dan
merdeka. Calon Guru Penggerak diharapakan untuk terus menjadi penggerak diri
sendiri, rekan/mitra guru lainnya, murid, serta segenap tatanan komponen
sekolah untuk memajukan pendidikan di Indonesia.
Salam
perubahan. Gerakkan pendidikan dengan motto tergerak, bergerak dan
menggerakkan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar