Selasa, 13 Juni 2023

 

1.4.a.8. Koneksi Antar Materi - Modul 1.4

 

Oleh:

Muhammad Fajri

CGP Angkatan 7 Kabupaten Aceh Besar

 

“…kita ambil contoh perbandingannya dengan hidup tumbuh-tumbuhan seorang petani (dalam hakikatnya sama kewajibannya dengan seorang pendidik) yang menanam padi misalnya, hanya dapat menuntun tumbuhnya padi, ia dapat memperbaiki kondisi tanah, memelihara tanaman padi, memberi pupuk dan air, membasmi ulat-ulat atau jamur-jamur yang mengganggu hidup tanaman padi dan lain sebagainya.”

 

(Ki Hajar Dewantara: Lampiran 1. Dasar-Dasar Pendidikan. Keluarga, Th. I No.1,2,3,4., Nov, Des 1936., Jan, Febr. 1937).

 

Dari kutipan pemikiran Ki Hajar Dewantara di atas, kita dapat menyimpulkan bahwa sekolah diibaratkan sebagai tanah tempat bercocok tanam sehingga seorang guru perlu mengusahakan agar sekolah menjadi sebuah lingkungan yang menyenangkan, aman, nyaman untuk bertumbuh, serta dapat menjaga dan melindungi setiap murid dari hal-hal yang kurang bermanfaat, atau bahkan mengganggu perkembangan potensi murid. 

Setelah bertahun-tahun mengajar, mendampingi murid-murid tumbuh dan berkembang, saya (Calon Guru Penggerak) menyadari bahwa budaya positif di sekolah sangatlah penting untuk mengembangkan anak-anak yang memiliki karakter yang kuat, sesuai profil pelajar Pancasila.

Setelah mempelajari paket modul 1 ini yang terdiri dari modul 1.1. tentang Refleksi Filosofis Pendidikan Nasional - Ki Hadjar Dewantara, modul 1.2 tentang Nilai-Nilai dan Peran Guru Penggerak, modul 1.3. Visi Guru Penggerak dan terakhir modul 1.4. tentang Budaya Positif. Di modul terakhir dari sajian modul 1 ini Calon Guru Penggerak (CGP) dituntut untuk benar-benar memahami pentingnya membangun budaya positif di sekolah sesuai dengan filosofi pendidikan Ki Hadjar Dewantara yaitu pendidikan yang berpihak pada murid untuk membantu para CGP dalam mencapai visi guru penggerak.  Di modul ini pula CGP diajak untuk mempelajari bagaimana peran seorang pemimpin pada sebuah institusi dalam menggerakkan dan memotivasi warga sekolah agar memiliki, meyakini, dan menerapkan visi atau nilai-nilai kebajikan yang disepakati, sehingga tercipta budaya positif yang berpihak pada murid.

Dalam upaya membangun budaya positif tersebut, kita tentu perlu meninjau lebih dalam tentang strategi menumbuhkan lingkungan yang positif. Maka sebelum tentunya dituntut untuk menerapkan budaya posditif di lingkungan sekolah, para CGP diajak untuk melakukan refleksi atas penerapan disiplin yang dilakukan selama ini di lingkungan masing-masing. Apakah penerapan disiplin di sekolah sudah benar-benar dalam kerangka penumbuhan budaya positif? Mengekang? Menghukum atau seperti apa? Lantas, bagaimana strategi para CGP dalam menerapkan praktik disiplin tersebut? Apakah selama ini para CGP sudah sungguh-sungguh menjalankan disiplin, atau malah sedang melakukan sebuah hukuman? Di mana kita menarik garis pembatas?

Di Modul 1.4. tentang budaya positif ini saya diajak untuk menelaah kembali tentang disiplin positif, teori kontrol,  teori motivasi, hukuman dan penghargaan, posisi kontrol guru, kebutuhan dasar manusia, keyakinan kelas, dan segitiga restitusi. Teori-teori ini merupakan sebuah ajuan paradigma berpikir dalam mengajukan kerangka budaya positif di sekolah, lembaga pendidikan dan juga lingkungan bermasyarakat. Maka mengapa teori-teori ini perlu kami koneksikan dan hubungkan kembali dengan modul-modul terdahulu sebagaimana uraian berikut:

v  Disiplin positif

Kembali mengutip pernyataan KHD di atas:

 “…kita ambil contoh perbandingannya dengan hidup tumbuh-tumbuhan seorang petani (dalam hakikatnya sama kewajibannya dengan seorang pendidik) yang menanam padi misalnya, hanya dapat menuntun tumbuhnya padi, ia dapat memperbaiki kondisi tanah, memelihara tanaman padi, memberi pupuk dan air, membasmi ulat-ulat atau jamur-jamur yang mengganggu hidup tanaman padi dan lain sebagainya.”

Tujuan dari disiplin positif adalah menanamkan motivasi yang ketiga pada murid-murid kita yaitu untuk menjadi orang yang mereka inginkan dan menghargai diri sendiri dengan nilai-nilai yang mereka percaya. Ketika murid-murid kita memiliki motivasi tersebut, mereka telah memiliki motivasi intrinsik yang berdampak jangka panjang, motivasi yang tidak akan terpengaruh pada adanya hukuman atau hadiah. Mereka akan tetap berperilaku baik dan berlandaskan nilai-nilai kebajikan karena mereka ingin menjadi orang yang menjunjung tinggi nilai-nilai yang mereka hargai, atau mencapai suatu tujuan mulia.

Selaras dengan pemikiran KHD dan ajuan kerangka disiplin positif di atas menunjukkan bahwa sejatinya disiplin itu bertumbuh dari proses internal si peserta didik, tidak oleh pihak eksternal. Dalam penumbuhan tersebut, pihak eksternal hanya bertindak selaku pemantik stimulus sebagaimana pada penggambaran KHD tentang petani dengan pemeliharaan, pemupukan, penyiraman akan tanaman, maka bagi pendidik, orangtua, dan orang dewasa akan disiplin pada peserta didik dan anak-anak adalah sama, bahwa kita sejatinya hanya bisa memupuk, menyiram dan memelihara hal-hal baik dalam kerangka bertumbuhnya disiplin positif pada peserta didik/anak-anak. Dan dari perspektif ini kita juga harus menyakini bahwa disiplin positif pasti akan terbentuk berkat modal nilai-nilai kebajikan yang ada pada manusia yang berupa sifat-sifat positif manusia yang merupakan tujuan mulia yang ingin dicapai setiap individu.

v  Teori Kontrol

Untuk membangun budaya positif, sekolah perlu menyediakan lingkungan yang positif, aman, dan nyaman, agar murid mampu berpikir, bertindak, dan mencipta dengan merdeka, mandiri dan bertanggung jawab. Dalam mendisiplinkan anak maka erat kaitannya dengan melakukan kontrol. Menurut Dr William Glasser dalam Control Theory bahwa upaya kontrol yang dilakukan berikut ini adalah sebuah ilusi; guru mengontrol murid, semua penguatan positif efektif dan bermanfaat, kritik dan membuat orang merasa bersalah dapat menguatkan karakter, dan orang dewasa memiliki hak untuk memaksa. Maka untuk itu perlu dilakukan perubahan paradigma stimulus-Respon kepada pendekatan teori kontrol. Menurut pendekatan teori kontrol antara lain mengatakan bahwa semua perilaku memiliki tujuan, hanya anda yang bisa mengontrol diri anda, anda tidak bisa mengontrol orang lain.

Dalam melakukan kontrol terhadap murid, ada 5 (lima) posisi kontrol yang dilakukan guru terhadap murid yaitu; sebagai penghukum, pembuat orang merasa bersalah, sebagai teman, monitor atau pemantau, dan seorang manajer. Sangat diharapkan bahwa posisi guru dalam mengontrol murid adalah sebagai manajer karena seorang manajer mampu memposisikan diri sebagai mentor berbuat sesuatu bersama murid, mempersilakan murid bertanggung jawab atas tindakannnya, mendukung dan bersama murid menemukan solusi atas permasalahannya.

v  Teori motivasi

Diane Gossen dalam bukunya Restructuring School Discipline, menyatakan ada 3 motivasi perilaku manusia:

1.    Untuk menghindari ketidaknyamanan atau hukuman

Ini adalah tingkat terendah dari motivasi perilaku manusia. Biasanya orang yang motivasi perilakunya untuk menghindari hukuman atau ketidaknyamanan, akan bertanya, apa yang akan terjadi apabila saya tidak melakukannya? Sebenarnya mereka sedang menghindari permasalahan yang mungkin muncul dan berpengaruh pada mereka secara fisik, psikologis, maupun tidak terpenuhinya kebutuhan mereka, bila mereka tidak melakukan tindakan tersebut. Motivasi ini bersifat eksternal.

2.    Untuk mendapatkan imbalan atau penghargaan dari orang lain.

Satu tingkat di atas motivasi yang pertama, disini orang berperilaku untuk mendapatkan imbalan atau penghargaan dari orang lain. Orang dengan motivasi ini akan bertanya, apa yang akan saya dapatkan apabila saya melakukannya? Mereka melakukan sebuah tindakan untuk mendapatkan pujian dari orang lain yang menurut mereka penting dan mereka letakkan dalam dunia berkualitas mereka. Mereka juga melakukan sesuatu untuk mendapatkan hadiah, pengakuan, atau imbalan. Motivasi ini juga bersifat eksternal.

3.    Untuk menjadi orang yang mereka inginkan dan menghargai diri sendiri dengan nilai-nilai yang mereka percaya.

Orang dengan motivasi ini akan bertanya, akan menjadi orang yang seperti apabila saya melakukannya? Mereka melakukan sesuatu karena nilai-nilai yang mereka yakini dan hargai, dan mereka melakukannya karena mereka ingin menjadi orang yang melakukan nilai-nilai yang mereka yakini tersebut. Ini adalah motivasi yang akan membuat seseorang memiliki disiplin positif karena motivasi berperilakunya bersifat internal, bukan eksternal.

Pernahkan kita berada dalam sebuah situasi dimana kita sengaja melakukan sesuatu yang menyakitkan bagi diri kita sendiri, bahkan bertabrakan dengan penghargaan dari orang lain? Mengapa kita tetap memilih melakukannya padahal kita tahu akibatnya akan menyakitkan, kita mungkin akan dikecam secara sosial, bahkan ada kerugian secara finansial? Apa prinsip-prinsip yang kita perjuangkan dan kita lindungi? Saat itu, kita sedang menjadi orang yang seperti apa?

Tujuan dari disiplin positif adalah menanamkan motivasi yang ketiga pada murid-murid kita yaitu untuk menjadi orang yang mereka inginkan dan menghargai diri sendiri dengan nilai-nilai yang mereka percaya. Ketika murid-murid kita memiliki motivasi tersebut, mereka telah memiliki motivasi intrinsik yang berdampak jangka panjang, motivasi yang tidak akan terpengaruh pada adanya hukuman atau hadiah. Mereka akan tetap berperilaku baik dan berlandaskan nilai-nilai kebajikan karena mereka ingin menjadi orang yang menjunjung tinggi nilai-nilai yang mereka hargai. Pertanyaannya sekarang adalah bagaimana cara kita sebagai guru untuk untuk menanamkan disiplin positif yang positif ini kepada murid-murid kita?

v  Hukuman dan Penghargaan

Ada tiga cara untuk mendisiplinkan anak yaitu melalui hukuman, konsekuensi dan restitusi. Hukuman bersifat tiba-tiba, satu arah, dan anak tidak mengetahui sebelum atau sesudahnya. Hukuman bersifat menyakiti anak baik secara fisik maupun psikis. Konsekuensi biasanya sudah disepakati dan disetujui oleh murid. Murid yang melanggar peraturan sudah tahu konsekuensi yang akan diterimanya. Menurut Gossen (2004), restitusi adalah proses menciptakan kondisi bagi anak untuk memperbaiki kesalahan mereka, sehingga mereka bisa kembali pada kelompok mereka, dengan karakter yang lebih kuat.

v  Posisi Kontrol Guru

Posisi kontrol ideal seorang guru yang ditawarkan oleh modul 1.4. ini dan diharapkan dapat dipraktikkan oleh guru masa depan Indonesia adalah posisi manajer. Sebagai manajer, guru dipandang mampu memposisikan diri sebagai mentor berbuat sesuatu bersama murid, mempersilakan murid bertanggungjawab atas tindakannnya, mendukung dan bersama murid menemukan solusi atas permasalahannya.

Dengan peranan kontrol guru sebagai manajer diharapkan akan mampu mendorong kemampuan intrinsic peserta didik dalam rangka penerapan didiplin yang lebih positif. Di samping itu pula, sifat manajer juga dipandang sebagai bentuk penerapan pendekatan disiplin yang lebih transformis yang dikenal sebagai pendekatan restitusi yang dikembangkan oleh Diane Gossen. Pendekatan Restitusi berfokus pada pengembangan motivasi intrinsik pada murid yang selanjutnya dapat menumbuhkan murid-murid yang bertanggung jawab, mandiri, dan merdeka.

v  Kebutuhan Dasar Manusia

Abraham Maslow membagi kebutuhan dasar manusia menjadi lima macam, yaitu: kebutuhan untuk bertahan hidup (survival), kasih sayang dan rasa diterima (love and belonging), kebebasan (freedom), kesenangan (fun), dan penguasaan (power). Sejatinya, setiap insan yang merdeka sebagaimana juga para murid di sekolah memiliki dan dengan merdeka pula harus terpenuhi hak dasar yang lima ini tanpa terkecuali. Bilamana kebutuhan dasar ini tidak terpenuhi, kurang, timpang da nada rongrongan, secara psikologi manusia akan melakukan proses penolakan bahkan hingga perlawanan. Ke konteks sekolah, bilamana ada di antara peserta didik yang tidak terpenuhi kebutuhan dasarnya dengan baik, biasanya cenderung melakukan pelanggaran-pelanggaran tertentu yang mengakibatkan diberikannya konsekuensi pelanggaran berupa hukuman pada praktik di masa lalu. Lain halnya di masa kini, di mana transformasi pendidikan dan teori-teori pemajuan pendidikan yang makin massif, pola pemberian hukuman di ranah pendidikan sudah berkurang dengan signifikan berganti dengan pola-pola pemberian konsekuensi yang lebih logis dan positif.

v  Keyakinan Kelas

Nilai-nilai keselamatan atau kesehatan inilah yang kita sebut sebagai suatu ‘keyakinan’, yaitu nilai-nilai kebajikan universal yang disepakati secara tersirat dan tersurat, lepas dari latar belakang suku, negara, bahasa maupun agama. Seperti yang sudah disampaikan sebelumnya pada pembelajaran tentang Nilai-nilai Kebajikan bahwa menekankan pada keyakinan seseorang akan lebih memotivasi seseorang dari dalam. Seseorang akan lebih tergerak dan bersemangat untuk menjalankan keyakinannya, daripada hanya sekedar mengikuti serangkaian peraturan tertulis tanpa makna. Murid-murid pun demikian, mereka perlu mendengarkan dan memahami arti sesungguhnya tentang peraturan-peraturan yang diberikan, apa nilai-nilai kebajikan dibalik peraturan tersebut, apa tujuan utamanya, dan menjadi tidak tertarik, atau takut sehingga hanya sekedar mengikuti serangkaian peraturan-peraturan yang mengatur mereka tanpa memahami tujuan mulianya.

Pada pembelajaran Disiplin dan Nilai-nilai Kebajikan Universal, kita telah mempelajari tentang nilai-nilai kebajikan yang dapat menjadi landasan kita dalam membuat suatu keyakinan sekolah atau menentukan visi dan misi atau tujuan dari sebuah institusi/sekolah. Seperti telah dikemukakan di modul 1.2, dalam penentuan visi sebuah institusi/sekolah kita terlebih dahulu perlu menentukan nilai-nilai kebajikan apa yang terpenting bagi institusi tersebut agar dapat mencapai tujuan mulia yang dicita-citakan.

v  Segitiga Restitusi

Restitusi adalah proses menciptakan kondisi bagi murid untuk memperbaiki kesalahan mereka sehingga mereka bisa kembali pada kelompok mereka dengan karakter yang lebih kuat. Restitusi merupakan proses kolaboratif yang mengajarkan murid untuk mencari solusi untuk masalah mereka, konsekuensi biasanya diberikan berdasarkan suatu data yang umumnya dapat diukur.

Segitiga restitusi merupakan tiga langkah yang digunakan untuk melakukan restitusi. Proses tiga tahapan tersebut didasarkan pada prinsip-prinsip utama dari teori kontrol yaitu: 1) Menstabilkan identitas (stabilize the identity), teori kontrolnya: kita semua akan melakukan hal terbaik yang bisa kita lakukan. 2) Validasi tindakan yang salah (validate the misbehaviour), teori kontrolnya semua perilaku memiliki alasan. 3) Menanyakan keyakinan (Seek the belief), teori kontrolnya: kita semua memiliki motivasi internal.

Modul 1.4 ini pun selaras serta memiliki keterkaitan dengan Standar Nasional Pendidikan khususnya di Standar Kompetensi Kelulusan, Standar Pengelolaan Pendidikan, Standar Pendidik dan Tenaga Kependidikan, dan Standar Proses. Dalam rangka menciptakan budaya positif, penerapan disiplin positif dipraktikkan untuk menghasilkan murid-murid yang berkarakter, disiplin, santun, jujur, peduli, dan bertanggung jawab. Dalam menjalankan tugasnya, seorang pemimpin sekolah hendaknya berjiwa kepemimpinan serta dapat mengembangkan sekolah dengan baik yaitu dengan menciptakan lingkungan yang positif sehingga terwujud suatu budaya positif. Demikian juga dengan warga sekolahnya; setiap guru dan tenaga kependidikan memiliki kompetensi standar minimal di mana mereka memiliki kesamaan visi serta nilai-nilai kebajikan yang dituju, serta berupaya mewujudkannya dalam pembelajaran yang aplikatif yang mengupayakan pemberdayaan murid agar dapat menjadi pemelajar sepanjang hayat.

Pada akhirnya dengan mempelajari modul ini diharapkan dapat menjadi suatu pembelajaran, tempat berproses, wadah untuk berdiskusi, dan menumbuhkan semangat untuk menggali dan mengembangkan potensi anak-anak Indonesia yang berkarakter kuat, mandiri, dan merdeka. Calon Guru Penggerak diharapakan untuk terus menjadi penggerak diri sendiri, rekan/mitra guru lainnya, murid, serta segenap tatanan komponen sekolah untuk memajukan pendidikan di Indonesia. 

Salam perubahan. Gerakkan pendidikan dengan motto tergerak, bergerak dan menggerakkan.

 

 

 

 

Tidak ada komentar: